Rabu, 01 Februari 2017

"Bunda aku gak suka matematika"

Gadis kecil itu meringkuk di sudut kamar, sesekali bahunya naik turun, hatinya sedang kacau.



Bunda memarahi nya sepulang sekolah, bukan tanpa sebab memang bunda marah. Dia gagal memgerjakan soal ulangan harian matematika hari ini. Dia sudah berusaha keras. Semalam pun dia sudah belajar. Tapi entah kenapa saat kertas-kertas ulangan itu di bagikan. Hapalannya semalam hilang entah kemana. Isak nya semakin keras saat di luar kamar suara bunda yang tak henti mengomel masih saja terdengar.

Dia tidak hanya sedih, tetapi marah. Kenapa dia harus belajar matematika? Kenapa di dunia ini harus ada matematika? Otak kecilnya sudah sangat lelah. Dia ingin bermain bersama kawan-kawan.

Dia hanya ingin menikmati masa kecilnya tanpa beban. Tetapi momok bernama matematika itu terus saja menyudutkannya. Selalu jadi penentu kelulusan dan dianggap sebagai standard kecerdasan semua orang.

Dalam isaknya dia bertanya, kenapa bukan bahasa inggris saja yang jadi penentu kelulusan. Kenapa bukan bahasa Indonesia saja yang jadi standard kecerdasan seseorang.

Dia benci matematika. Bahkan mendengar namanya pun dia enggan. Menatap mata gurunya yang terus melotot tidak sabar ketika dia tidak bisa menjawab soal menjadi sesuatu yang membuatnya trauma.

Dan seolah belum cukup menghakimi dengan ketidak sabaran. Omelan bunda yang menyudutkan membuatnya semakin gagap. Hanya isak yang dia punya.

Dia, gadis kecil masih kelas 2 Sekolah Dasar, dia tidak mengerti kenapa dia harus belajar matematika. Dia tidak paham kenapa dia harus dapat nilai baik dalam matematika.

Dia hanya korban dari sistem dan paradigma yang terlalu lama mengakar pada masyarakat kita.

Sosok seperti "Dia" ada. Terkunci dalam kesepiannya. Merasa terasing dan terkucilkan dari dunia hanya karena tidak pandai dalam matematika.

Lalu apa kita menyalahkan ora.g tuanya? Tidak Orang tuanya juga tidak bersalah. Karena sistem dan kurikulum sekolah saat ini memang tidak memihak kepada anak.

Mungkin ini tidak obyektif menilai. Tapi percayalah, cerita seperti ini ada di sekeliling saya. Sering terdengar. Sering nya hanya bisa mengamati dari kejauhan.

Tapi orang tua bisa apa, kalau anak nya ketinggalan pelajaran beliau yang di tegur pihak sekolah. Well tidak semua sekolah, tetapi umumnya terjadi di sekolah negeri.

Lalu apakah gurunya yang salah, nyatanya tidak. Bapak ibu guru pasti lebih paham soal ini. Mereka hanya orang yang menjalankan sistem. Mereka dituntut sistem yang ada agar anak yang naik ke jenjang berikutnya sedikitnya memiliki nilai matematika sekian. Tidak cukup sampai disana, mereka juga di tuntut oleh para orang tua dengan doktrin, bahwa anak di sekolahkan agar pintar. Kalau anak tidak pintar buat apa mereka menyekolahkan. Apa gunanya bapak ibu guru di sekolah kalau anaknya gak pintar.

Lalu siap yang salah, sistem?
Entahlah , setiap orang berhak punya pendapat yang berbeda tentunya.

Sebuah permasalahan yang tidak bisa di lihat hanya dari satu sudut pandang.

Bahkan sebagai orang tua, juga dihadapkan kepada posisi yang serba sulit. Selain menghadapi penolakan anak dalam pelajaran. Ocehan orang orang sekitar yang bikin hati nyeri juga menjadi tekanan tersendiri.

Ahh, pembahasan yang panjang. Tapi semoga "Dia dan Bundanya" bisa segera duduk bersama dan mecari solusi untuk masalah mereka berdua.

Karena mau seberapa panjang saya berkomentar, yang menentukan hanya "Dia dan Bundanya."

Dan saya hanya bisa berdoa, semoga suatu hari di Indonesia bisa tercipta sistem pendidikan yang pro kepada anak dan tidak mengkotak kotakkan potensi dan bakat seseorang.


Untuk "Dia dan Bundanya"
Based on true story.

Goresan penaku


Tidak ada komentar: